Kasus Tanah Samota Antara Arifin Efendy vs Ahli Waris Gde Bajra. PH Arifin : Bajra dengan Arifin Tidak Ada Hubungan Hukum.

0
Oplus_131072

Oplus_131072

Sumbawa-Besar,Ai9News.id– Perkara tanah di Kabupaten Sumbawa, khususnya di Kawasan Samota, kembali menyita perhatian publik. Arifin Efendi, seorang warga Kelurahan Uma Sima Sumbawa yang telah menguasai 2 bidang tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 960, Surat Ukur tanggal 19 April 2000, nomor 293/Br.Biji/2000 seluas 19.990 M2, dengan Nomor Identifikasi Bidang Tanah,(NIB) 23.04.08.29.0019 dan Nomor SPPTPBB.52.04.080.018.045-0037.0 yang terletak di Kelurahan Brang Biji yang dibeli dari A. Rahman, warga Kelurahan Brang Bara Sumbawa, dengan Akta Jual Beli Nomor: 260/2014, Tanggal 1 April 2014, yang dibuat oleh Notaris Effendi Winarto,SH serta Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 956, NIB 23.04.08.19.00193, Surat Ukur Nomor: 292/Br.Biji/2000, Tanggal 19 April 2000, Seluas 20.000 M2, Lokasi Brang Biji, yang di beli dari Syaifuddin, ST, warga, Desa Labuhan Sumbawa, melalui Akta Jual Beli No :332/2014, tanggal 28 April 2014 yang dikeluarkan oleh Notaris, Effendi Winarto SH, kini harus berhadapan dengan gugatan hukum yang diajukan oleh ahli waris almarhum Gede Bajre, masing-masing, Saka Suci, Hj.Maryam dan Putri Cendrawati, melalui Kantor Hukum Umaiyah & Partner, sementara Arifin dan Syaifuddin didampingi oleh Tim Law Firm Raidin Anom & Partner, Jakarta, yang dikomando oleh Raidin Anom, SH,MH.

Gugatan tersebut teregister di PN Sumbawa Besar, dengan Nomor perkara, 33/Pdt.G/PN.SBW/2025. Persidangan telah memasuki tahap mediasi, pada Senin, (8/9) dengan Ketua Majelis Hakim, Really Dominggus Behuku, SH,MH.

Dalam persidangan tersebut, Majelis menunjuk Hakim Farida sebagai Mediator. PH Arifin Efendy, menolak melakukan mediasi dan meminta sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan, karena para pihak telah sepakat untuk tidak ada mediasi, namun keinginan tersebut ditolak oleh ketua Majelis, karena mediasi merupakan tahapan yang harus dilalui dalam setiap proses persidangan.

“Silakan lakukan mediasi, sepakatnya di ruang mediasi bukan diruang sidang. Nanti hakim mediator melaporkan ke saya hasil mediasi para pihak, apa ada kesepakatan atau atau tidak. baru sidang ini dilanjutkan kembali,” kata hakim Really yang kemudian menutup sidang.

Ketua Tim Penasehat Hukum Arifin Efendy dan Syaifuddin, Raidin Anom, SH, MH langsung menggelar jumpa pers, di Cafe Ruang Hati. Menurutnya, mediasi akan kehilangan esensi jika pihak utama yang menggugat tidak pernah hadir.

“Kami sudah sampaikan kepada Ketua Majelis Hakim sekaligus Ketua PN Sumbawa, mediasi hanya bisa dilakukan bila principal hadir langsung, bukan sekadar diwakili kuasa hukum. Kalau tidak, maka perkara ini hanya membuang-buang energi dan uang negara, lagi pula, antara klien kami dengan Gde Bajra tidak ada hubungan hukum, karena klien kami membeli tanah tersebut bukan dari Gde Bajra,” ujar Raidin.

Ia menilai, setiap hari negara mengeluarkan anggaran untuk persidangan, termasuk penunjukan hakim mediator. Bila perkara yang diajukan asal-asalan tetap diterima, hal itu justru mencederai martabat pengadilan.

Dalam gugatan, pihak penggugat mengklaim bahwa almarhum Gede Bajre pernah membeli dua bidang tanah melalui seseorang bernama Abdullah, yang ditunjukkan dengan bukti kwitansi. Namun, Arifin dan tim hukumnya membantah dalil tersebut.

Bahkan, Abdullah yang dihadirkan dalam Jumpa pers tersebut yang secara terbuka menolak pengakuan tersebut. Ia menegaskan tidak pernah menjual tanah kepada Gede Bajre maupun keluarganya.

“Saya tidak mengenal Gede Bajre dan tidak pernah melakukan transaksi jual beli dengan dia,” tegas Abdullah.

Kuasa hukum Arifin menyebut, bukti-bukti yang digunakan penggugat diduga palsu. Antara lain klaim persetujuan istri Abdullah yang disebut bernama Tenri, padahal fakta hukum menunjukkan istri sah Abdullah adalah Rabaiyah, sesuai Kartu Keluarga dan akta kematian.

“Dalil-dalil itu saling bertentangan dan penuh kebohongan. Kami menduga ada penggunaan dokumen palsu. Karena itu kami sudah melaporkannya ke Polda NTB pada 5 September lalu,” tegasnya.

Sementara itu, Arifin Efendi menegaskan dirinya membeli tanah secara sah. Proses pembelian melibatkan BPN dan PPAT, serta telah memiliki sertifikat resmi sejak tahun 2014.

“Saya tidak mengenal Gede Bajre. Saya membeli tanah ini dari pemilik yang sah, dengan sertifikat resmi. Sejak itu saya membersihkan, memagari, dan mengelolanya. Tidak pernah ada yang keberatan.” ujar Arifin.

Menurut tim hukumnya, seandainya penggugat merasa memiliki hak, seharusnya keberatan diajukan ke BPN saat sertifikat terbit. Peraturan memberi waktu 90 hari untuk itu, tetapi tidak pernah dilakukan.

Arifin, melalui kuasa hukumnya telah melaporkan dugaan pemalsuan dokumen ke aparat Polda NTB pada 5 September kemarin dengan terlapor antara lain Saka Suci, Siti Maryam dan Putu Candrawaty.
Laporan Pengaduan tersebut dibuktikan dengan adanya bukti tanda terima laporan dari Dirreskrim Umum Polda NTB

“Demi keadilan, demi masyarakat Sumbawa, dan demi tegaknya hukum, kami tidak akan tinggal diam. Kalau principal tidak pernah hadir di sidang, perkara ini seharusnya dihentikan. Jangan sampai peradilan kita dipermainkan dengan gugatan yang cacat formil,” tegasnya.(ikh)

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *